Amerika, China senang dengan reformasi TNI. Australia senang dengan pemberantasan teroris.
VIVAnews - WikiLeaks kembali membocorkan informasi rahasia Amerika Serikat (AS) mengenai Indonesia. Menariknya, kali ini informasi yang digulirkan sudah menyinggung urusan domestik, soal isu keamanan regional dan terorisme.
Bocoran WikiLeaks itu bukan menyangkut laporan dari Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta, yang diklaim sebanyak 3.059 pesan. Kisah soal Jakarta itu berasal dari Kedubes AS di Beijing (China) dan Canberra (Australia). Sebagian memo yang menyinggung Indonesia sudah dimuat di laman WikiLeaks, sebagian lagi dikirim secara eksklusif ke media massa di Australia.
Dalam suatu memo terungkap bahwa dua kekuatan utama dunia saat ini, AS dan China, turut serius mengamati reformasi di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Reformasi itu, juga transparansi militer di negeri ini dianggap bisa mendorong, sekaligus memperkuat transparansi di tubuh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Demikian laporan hasil percakapan antara pejabat AS dan China. Laporan itu ditulis dalam memo diplomatik dari Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Beijing ke Departemen Luar Negeri di Washington DC, Maret 2007. Dipublikasikan di laman WikiLeaks, 12 Desember 2010.
Bernomor referensi 07BEIJING1448, memo berkatagori rahasia itu merekam pembicaraan antara Asisten Menteri Luar Negeri (Menlu) China, Cui Tiankai, beserta Direktur Jenderal urusan Asia, Hu Zhengyue, dengan kolega mereka dari AS, Deputi Asisten Menlu AS urusan Asia Timur dan Pasifik, Eric John, di Beijing pada Maret 2007.
Mereka membicarakan isu-isu di Asia Tenggara, seperti masalah demokrasi Myanmar dan keamanan di kawasan itu. Para pejabat dari kedua negara juga membicarakan situasi di Indonesia dan wilayah lain.
Diskusi antara dua pejabat itu memang menarik. Pasalnya, jarang diberitakan bahwa pejabat AS dan China berbagi pandangan, mengingat kedua negara itu dalam beberapa dekade terakhir justru saling bersaing untuk menanamkan pengaruh di sejumlah negara, terutama kawasan asia.
Mengenai isu Indonesia, John menekankan kepada Hu bahwa AS dan China harus bekerja sama untuk mendorong demokratisasi, pertumbuhan ekonomi, dan anti terorisme di negara terbesar di Asia Tenggara itu.
John, yang sejak Oktober 2007 akhirnya menjadi Duta Besar AS untuk Thailand, menilai kendati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengambil sejumlah langkah positif, AS dan China harus mendorong Indonesia untuk melakukan transparansi, akuntabilitas, dan reformasi militer yang lebih optimal.
Menurut John, Beijing harus bergabung dengan Washington dalam mendorong adanya tata kelola dan akuntabilitas yang lebih baik dalam tubuh militer Indonesia.
"Transparansi di dalam TNI akan memperkuat dan mendorong transparansi di dalam pemerintahan dan masyarakat Indonesia pada umumnya," demikian perkataan John kepada Hu yang dikutip memo itu. Transparansi itu, menurut John, merupakan faktor penting untuk mengundang daya tarik investasi asing, yang tengah dibutuhkan Indonesia.
"Kita juga harus mendorong reformasi dalam peraturan tenaga kerja dan investasi, begitu pula dengan penegakan hukum atas peraturan-peraturan itu," lanjut memo tersebut.
China dipandang bisa memberi pengaruh bagi "arahan umum" pembangunan di Indonesia. Namun, kepada John, Hu mengingatkan bahwa Beijing harus bersikap sensitif atas realitas politik terkait dengan nasib populasi warga keturunan China di Indonesia.
Beijing, dalam memo itu, merasa "tidak terkesan" terhadap sejumlah presiden yang memimpin Indonesia setelah krisis keuangan Asia di akhir dekade 1990-an. Namun, China merasa senang atas kemajuan yang dibuat Presiden Yudhoyono sejak memerintah pada 2004, demikian kata Hu.
Seperti yang dilaporkan di memo diplomatik itu, Hu mengungkapkan keinginan China untuk mendorong Islam yang moderat di Indonesia, dengan mendorong interaksi dengan 20 juta umat Muslim di Tiongkok.
Dalam beberapa tahun terakhir, AS dan China telah berkoordinasi dalam memberi bantuan kepada Indonesia terkait dengan sejumlah bencana alam. Bagi Beijing, kerjasama demikian bisa menjadi model bagi kemitraan di tingkat regional.
Berharap SBY Menang Lagi
Pada memo yang lain, AS mencatat apresiasi Australia kepada Indonesia dalam perang melawan terorisme. Pejabat Kementrian Luar Negeri Australia menegaskan bahwa Indonesia merupakan mitra paling penting di tingkat regional. Selain itu, pemerintah Negeri Kanguru itu juga berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menang lagi pada pemilu 2009.
Demikian penggalan memo diplomatik Amerika Serikat (AS), yang diklaim sebagai bocoran dari WikiLeaks kepada media massa di Australia. Berita memo itu dimuat oleh harian Sydney Morning Herald, Rabu 15 Desember 2010.
Memo diplomatik itu, yang diklaim berasal dari Kedutaan Besar AS di Canberra, melaporkan penilaian para pejabat Australia atas sejumlah negara tetangga mereka, termasuk Indonesia. Ini berdasarkan komunikasi antara pejabat AS dan Australia di Canberra pada Oktober 2008.
Pejabat Kementrian Luar Negeri Australia untuk Urusan Asia Tenggara, Peter Woolcott, menggambarkan situasi politik di sejumlah negara tetangga pada saat itu sedang "kacau" (messy). Negara-negara yang dimaksud adalah Filipina, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Burma (Myanmar).
Namun, penilaian sebaliknya dilontarkan Wollcott atas Indonesia. "Situasi di Indonesia - yang merupakan mitra paling penting Australia di kawasan - berlangsung 'sebaik yang bisa didapatkan,'" kata Woolcott dalam memo yang dikutip Sydney Morning Herald.
"Yudhoyono...yang diharapkan Australia terpilih kembali, telah memberikan kerjasama kelas satu dalam anti terorisme," lanjut Woolcott.
Harian lain yang juga mengaku mendapat bocoran eksklusif dari WikiLeaks, The Age, juga memuat penilaian positif intelijen Australia kepada Indonesia dalam memberantas kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI) dalam beberapa tahun terakhir.
Dibuat pada Oktober 2008, memo itu memaparkan penilaian lembaga intelijen Australia, Office of National Assessments (ONA), mengenai sepak terjang JI. Kelompok yang dituduh Amerika Serikat sebagai bagian dari jaringan al-Qaida itu disebut-sebut sudah "berantakan."
"Analisa ONA menilai bahwa 'situasi telah terbalik' terkait dengan Jemaah Islamiyah di Indonesia. Kepemimpinan kelompok tersebut telah hancur. Sebagian besar senior mereka telah dibunuh, ditangkap maupun dalam pencarian. Kelompok itu telah kehilangan dukungan jaringan dan pendanaan lokal," demikian laporan Kedubes AS di Canberra kepada Departemen Luar Negeri di Washington.
Bukan Karena Amerika dan Australia
Kendati mendapat penilaian positif dari AS, China dan Australia, pemerintah Indonesia justru tetap bersikap dingin. Indonesia masih meragukan otentisitas informasi-informasi itu, yang berasal dari sumber yang tengah mengundang kontroversi di seluruh dunia, WikiLeaks.
Bocoran Wikileaks itu dinilai tidak valid. "Saya rasa tidak pada tempatnya mengomentari suatu bocoran yang otentitas substansinya tidak bisa diverifikasi," kata Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, kepada VIVAnews.com, Rabu 15 Desember 2010.
Menanggapi dokumentasi percakapan pejabat AS dan China atas reformasi TNI, Juru bicara Kementerian Pertahanan, Brigadir Jenderal I Wayan Midhio, menyatakan, reformasi TNI adalah keinginan dari bangsa Indonesia sendiri. Tak ada kaitannya dengan keinginan kedua negara itu.
"Seandainya mereka mendukung reformasi TNI, ya itu kebetulan saja," kata Midhio kepada VIVAnews, Rabu 15 Desember 2010. Reformasi TNI, ujar Midhio, dilakukan sebagai salah satu amanat Reformasi. "Anak-anak bangsa sendiri yang menginginkan," katanya. Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro, juga mengatakan bahwa bocoran Wikileaks itu dinilai belum jelas.
Sementara itu, Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi luar negeri, Roy Suryo, meminta publik tidak berlebihan menanggapi bocoran Wikileaks yang terkait Indonesia. "Tidak usah lebay atau berlebihan menanggapi WikiLeaks," kata Roy di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu 15 Desember 2010.
Ia menyatakan, situs-situs whistle blower semacam WikiLeaks sangat subjektif karena sumbernya sepihak. "Jangankan WikiLeaks, Openleaks, atau Indoleaks, situs Wikipedia saja informasinya belum tentu seratus persen dapat dipercaya karena bisa di-up load oleh siapa saja," ujar politisi Partai Demokrat itu.
Terkait bocoran terbaru WikiLeaks yang menyinggung Presiden Yudhoyono, Roy pun tidak ambil pusing. "Lebih baik kita bersikap progresif dan berpikir ke depan untuk Indonesia. Tidak usah ikut-ikutan yang lain," kata Roy.
• VIVAnews